Selebrasi Gol Tahiti
Lagi-lagi siang ini saya tertarik untuk menulis
tentang sebuah tim dari negara kecil bernama Tahiti. Semalam, saya
sungguh-sungguh menyesal tidak bisa menemani Marama Vahirua, dkk berlaga
karena alarm yang saya setel kehabisan baterai sebelum waktunya.
Alhasil, kekalahan telah 0-10, yang mungkin akan menjadi sejarah baru
dan akan sulit untuk dipecahkan dalam Piala Konfederasi selanjutnya,
tidak dapat saya lihat secara langsung. Lebih menyesal lagi, semalam
mungkin merupakan kesempatan terakhir untuk melihat aksi timnas Tahiti
berlaga secara live. Kita harus menunggu bertahun-tahun, atau bahkan
berpuluh-puluh tahun lagi untuk menyaksikan semangat para pemain Tahiti
secara langsung. Tahun depan, mereka tidak lolos ke Piala Dunia.
Mempertahankan gelar OFC Nations Cup pun teramat sulit, karena selain
Tahiti, masih ada Selandia Baru yang tidak terima hegemoninya terganggu
pada penyelenggaraan ONC tahun lalu.
Nigel Reed, seorang wartawan dari CBC Sport, begitu
getol mempermasalahkan kehadiran Tahiti pada Piala Konfederasi 2013. Ia
menyalahkan FIFA yang membuat sistem sehingga memungkinkan tim-tim
kecil seperti Tahiti bisa tampil di kejuaraan level internasional. Bagi
seorang Reed, kejuaraan Piala Konfederasi adalah kejuaraan untuk para
pesepakbola professional. Pernyataannya adalah sebuah sindiran yang
sangat tajam bagi Tahiti, yang Cuma diperkuat satu pemain professional.
Salah satu usul yang ia tawarkan kepada FIFA adalah untuk meniadakan
kualifikasi Piala Dunia ataupun Piala Konfederasi untuk zona Oceania.
Menurutnya, penyisihan Zona Oceania sebaiknya digabungkan saja dengan
kualifikasi di zona Asia.
Pemikiran Nigel Reed tak lantas disetujui oleh
orang yang membaca tulisan tersebut. Ternyata lebih banyak orang yang
menyayangkan pemikiran Reed, bahkan mengkait-kaitkannya dengan prediksi
pertandingan buatannya yang sering meleset. Publik ternyata memberikan
apresiasi yang begitu besar kepada Tahiti. Lihat saja bagaimana public
Belo Horizonte berkali-kali meneriakkan nama Tahiti, ketika anak-anak
asuh Eddy Etaeta ini berlaga menghadapi Nigeria. Publik Belo Horizonte
pula yang ikut bersorak, ketika seorang Jonathan Tehau membobol gawang
Vincent Enyeama melalui sundulan kepala.
Ketika sepakbola dipandang sebagai entertainment,
maka apa yang ditulis oleh Nigel Reed tidaklah salah. Dari sudut pandang
entertainment, kehadiran Tahiti menurunkan mutu turnamen. Jika posisi
Tahiti digantikan oleh tim yang secara kualitas tidak berbeda jauh
dibandingkan Spanyol, Uruguay, dan Nigeria yang sama-sama menjadi
penghuni grup B, maka pertandingan kualifikasi grup Piala Konfederasi
2013 akan menghadirkan persaingan yang sengit. Tidak ada lagi rekor
10-0, tidak ada lagi tim yang berbahagia setelah bisa mencetak gol meski
timnya kalah 1-6, dan tidak ada lagi pemain yang merayakan gol-nya
ketika timnya sudah tertinggal 0-3. Namun sekali lagi, ternyata public
sepakbola dunia tidak hanya memaknai sepakbola sebagai hiburan semata.
Ya, sepakbola adalah mimpi. Sesuai slogan yang
diusung, sepakbola adalah harapan, Football For Hope. Saya teringat
betapa manisnya iklan yang ditampilkan FIFA, yang menyebut sepakbola
adalah untuk semua, tanpa memandang suku, tanpa memandang ras. Semua
punya kesempatan yang sama untuk bermain sepakbola. Dan dalam beberapa
hal, prinsip ini bertentangan dengan industrialisasi sepakbola yang kini
tengah terjadi.
Ketika sepakbola dipandang sebagai hiburan semata,
tidak ada tempat bagi tim-tim kecil dari negeri antah berantah untuk
bisa tampil se-lapangan dengan pemain dari negara dengan tradisi
sepakbola yang kuat. Tidak akan ada lagi antusiasme untuk bermain
sepakbola, seperti antusiasme seorang Jonathan Tehau sebelum ia tampil
se-lapangan dengan bintang-bintang yang biasanya Cuma ia lihat di layar
kaca. Tidak ada lagi keadilan di atas lapangan, karena hanya tim-tim
besar dan punya sejarah yang kuat dalam sepakbola yang mendapatkan
kesempatan lebih besar, dibandingkan negara-negara kecil yang
mati-matian membangkitkan passion terhadap sepakbola. Yang paling parah,
tidak ada lagi mimpi dari seorang anak yang bercita-cita menjadi pemain
sepakbola terkenal, namun berasal dari negara kecil, karena tidak ada
lagi kesempatan bagi mereka untuk menampilkan kemampuannya secara
internasional.
Dengan bangga Tahiti menyebut diri mereka sebagai
representasi sepakbola amatir. Meskipun Cuma jadi bulan-bulanan di
Brazil, mereka tetap bisa pulang ke negaranya sambil membawa cerita,
bahwa mereka pernah berada di atas lapangan yang sama dengan juara
Dunia, Eropa, dan Amerika Latin. Seorang Nicolas Vallar bisa bercerita
betapa licinnya mengawal Fernando Torres kepada anak cucunya kelak.
Seorang Stevy Chong Hue bisa bercerita betapa susahnya menggiring bola
melewati Azpilicueta. Seorang Ludivion, yang katanya juga seorang
pemanjat pohon kelapa, bisa bercerita kepada anak-anaknya bahwa ia
pernah berduel langsung dengan David Villa, sambil meminum air kelapa di
tepi pantai yang hangat. Cerita-cerita itu jauh lebih berharga
dibanding mempermasalahkan gawang mereka yang hingga pertandingan kedua
ini sudah kemasukan 16 gol. Cerita-cerita mereka akan memotivasi
anak-anak yang ada di sana untuk lebih giat berlatih sepakbola, karena
mereka tahu, dengan berlatih, kesempatan untuk bertemu orang-orang yang
mereka idolakan bisa terwujud.
Inilah indahnya sepakbola. Tentu akan membosankan
jika kejuaraan sepakbola hanya didominasi oleh tim yang itu-itu saja,
seperti badminton yang amat didominasi oleh China. Semua orang berhak
bermain sepakbola, sepanjang mau mengikuti aturan yang berlaku. Dan
untuk itulah, sepakbola tidak bisa dimaknai tidak lebih dari sekedar
hiburan. Sepakbola adalah untuk semua, karena melalui sepakbola,
mimpi-mimpi besar bisa menemukan jalannya untuk terwujud.
Football for all, because football is hope