Kamis, 09 Januari 2014

Sejarah Konroversi Bola

13717947321816976826 
Selebrasi Gol Tahiti
Lagi-lagi siang ini saya tertarik untuk menulis tentang sebuah tim dari negara kecil bernama Tahiti. Semalam, saya sungguh-sungguh menyesal tidak bisa menemani Marama Vahirua, dkk berlaga karena alarm yang saya setel kehabisan baterai sebelum waktunya. Alhasil, kekalahan telah 0-10, yang mungkin akan menjadi sejarah baru dan akan sulit untuk dipecahkan dalam Piala Konfederasi selanjutnya, tidak dapat saya lihat secara langsung. Lebih menyesal lagi, semalam mungkin merupakan kesempatan terakhir untuk melihat aksi timnas Tahiti berlaga secara live. Kita harus menunggu bertahun-tahun, atau bahkan berpuluh-puluh tahun lagi untuk menyaksikan semangat para pemain Tahiti secara langsung. Tahun depan, mereka tidak lolos ke Piala Dunia. Mempertahankan gelar OFC Nations Cup pun teramat sulit, karena selain Tahiti, masih ada Selandia Baru yang tidak terima hegemoninya terganggu pada penyelenggaraan ONC tahun lalu.
Nigel Reed, seorang wartawan dari CBC Sport, begitu getol mempermasalahkan kehadiran Tahiti pada Piala Konfederasi 2013. Ia menyalahkan FIFA yang membuat sistem sehingga memungkinkan tim-tim kecil seperti Tahiti bisa tampil di kejuaraan level internasional. Bagi seorang Reed, kejuaraan Piala Konfederasi adalah kejuaraan untuk para pesepakbola professional. Pernyataannya adalah sebuah sindiran yang sangat tajam bagi Tahiti, yang Cuma diperkuat satu pemain professional. Salah satu usul yang ia tawarkan kepada FIFA adalah untuk meniadakan kualifikasi Piala Dunia ataupun Piala Konfederasi untuk zona Oceania. Menurutnya, penyisihan Zona Oceania sebaiknya digabungkan saja dengan kualifikasi di zona Asia.
Pemikiran Nigel Reed tak lantas disetujui oleh orang yang membaca tulisan tersebut. Ternyata lebih banyak orang yang menyayangkan pemikiran Reed, bahkan mengkait-kaitkannya dengan prediksi pertandingan buatannya yang sering meleset. Publik ternyata memberikan apresiasi yang begitu besar kepada Tahiti. Lihat saja bagaimana public Belo Horizonte berkali-kali meneriakkan nama Tahiti, ketika anak-anak asuh Eddy Etaeta ini berlaga menghadapi Nigeria. Publik Belo Horizonte pula yang ikut bersorak, ketika seorang Jonathan Tehau membobol gawang Vincent Enyeama melalui sundulan kepala.
Ketika sepakbola dipandang sebagai entertainment, maka apa yang ditulis oleh Nigel Reed tidaklah salah. Dari sudut pandang entertainment, kehadiran Tahiti menurunkan mutu turnamen. Jika posisi Tahiti digantikan oleh tim yang secara kualitas tidak berbeda jauh dibandingkan Spanyol, Uruguay, dan Nigeria yang sama-sama menjadi penghuni grup B, maka pertandingan kualifikasi grup Piala Konfederasi 2013 akan menghadirkan persaingan yang sengit. Tidak ada lagi rekor 10-0, tidak ada lagi tim yang berbahagia setelah bisa mencetak gol meski timnya kalah 1-6, dan tidak ada lagi pemain yang merayakan gol-nya ketika timnya sudah tertinggal 0-3. Namun sekali lagi, ternyata public sepakbola dunia tidak hanya memaknai sepakbola sebagai hiburan semata.
Ya, sepakbola adalah mimpi. Sesuai slogan yang diusung, sepakbola adalah harapan, Football For Hope. Saya teringat betapa manisnya iklan yang ditampilkan FIFA, yang menyebut sepakbola adalah untuk semua, tanpa memandang suku, tanpa memandang ras. Semua punya kesempatan yang sama untuk bermain sepakbola. Dan dalam beberapa hal, prinsip ini bertentangan dengan industrialisasi sepakbola yang kini tengah terjadi.
Ketika sepakbola dipandang sebagai hiburan semata, tidak ada tempat bagi tim-tim kecil dari negeri antah berantah untuk bisa tampil se-lapangan dengan pemain dari negara dengan tradisi sepakbola yang kuat. Tidak akan ada lagi antusiasme untuk bermain sepakbola, seperti antusiasme seorang Jonathan Tehau sebelum ia tampil se-lapangan dengan bintang-bintang yang biasanya Cuma ia lihat di layar kaca. Tidak ada lagi keadilan di atas lapangan, karena hanya tim-tim besar dan punya sejarah yang kuat dalam sepakbola yang mendapatkan kesempatan lebih besar, dibandingkan negara-negara kecil yang mati-matian membangkitkan passion terhadap sepakbola. Yang paling parah, tidak ada lagi mimpi dari seorang anak yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola terkenal, namun berasal dari negara kecil, karena tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menampilkan kemampuannya secara internasional.
Dengan bangga Tahiti menyebut diri mereka sebagai representasi sepakbola amatir. Meskipun Cuma jadi bulan-bulanan di Brazil, mereka tetap bisa pulang ke negaranya sambil membawa cerita, bahwa mereka pernah berada di atas lapangan yang sama dengan juara Dunia, Eropa, dan Amerika Latin. Seorang Nicolas Vallar bisa bercerita betapa licinnya mengawal Fernando Torres kepada anak cucunya kelak. Seorang Stevy Chong Hue bisa bercerita betapa susahnya menggiring bola melewati Azpilicueta. Seorang Ludivion, yang katanya juga seorang pemanjat pohon kelapa, bisa bercerita kepada anak-anaknya bahwa ia pernah berduel langsung dengan David Villa, sambil meminum air kelapa di tepi pantai yang hangat. Cerita-cerita itu jauh lebih berharga dibanding mempermasalahkan gawang mereka yang hingga pertandingan kedua ini sudah kemasukan 16 gol. Cerita-cerita mereka akan memotivasi anak-anak yang ada di sana untuk lebih giat berlatih sepakbola, karena mereka tahu, dengan berlatih, kesempatan untuk bertemu orang-orang yang mereka idolakan bisa terwujud.
Inilah indahnya sepakbola. Tentu akan membosankan jika kejuaraan sepakbola hanya didominasi oleh tim yang itu-itu saja, seperti badminton yang amat didominasi oleh China. Semua orang berhak bermain sepakbola, sepanjang mau mengikuti aturan yang berlaku. Dan untuk itulah, sepakbola tidak bisa dimaknai tidak lebih dari sekedar hiburan. Sepakbola adalah untuk semua, karena melalui sepakbola, mimpi-mimpi besar bisa menemukan jalannya untuk terwujud.
Football for all, because football is hope

Rabu, 08 Januari 2014

Berita

Seminar National Conference Disability Awereness
    Seminar National Conference Disability Awereness  dilaksanakan di Universitas Siswa Bangsa International(USBI) dan hari kedua dilaksanakan di monas, Sabtu-Minggu (7-8/12). dilakukan dengan tujuan membantu peserta seminar sadar dan peduli dan mau berbagi bersama penyandang disabilitas..
   Banyak didatangkan orang orang hebat, walaupun mereka tuna rungu, tuna netra tetapi merka tidak patah semangat untuk mengejar cita-cita. ada yang tuna rungu tetapi bisa melakukan pendidikan sampai S2 tidak punya kaki juga banyak yang bisa bersekolah dan tidak malu melakukan suatu hal.
   Diseminar ini pun juga mengajarkan arti kehidupan yang sangat berharga, lebih mengerti arti kehidupan bahwa hidup ini bukan hanya disia-sia kan walaupun mereka tidak sempurna tetapi mereka tetap berjuang dan menjadi orang hebat, hidup ini juga tidak untuk putus asa. Gagal bukan berati tidak bisa melakukan tapi gagal adalah awal dari kesuksesan yang tertunda.